Saturday, July 28, 2018

Terjebak dalam Frame "Istilah"

"Dasar Batak!!!"
"Namanya juga orang Padang, pintar dagang"
"Alaahh Jokowi itu kan antek aseng, Cina"
"Mana ada Islam Nusantara itu, Islam itu Islam yang diturunkan pada Rasulullah saw"

Batak, Padang, Cina, Arab, Nusantara dan lain-lain, begitu lah Istilah yang seringkali kita dengar, kita sebut di kehidupan kita sehari-hari. Atas dasar ketidaktahuan, kebencian, perasaan, kita terjebak dalam istilah-istilah yang kita jeneralisir, kita sama ratakan semua, hanya untuk kesenangan, kepuasan, gampangnya kita aja.
Saya sendiri pun sama. Cuma saya berdoa dan berusaha agar saya diberi pengetahuan dan pencerahan agar menjadi tahu. Terlahir dan besar di kota Medan itu merupakan suatu anugerah keragaman. Banyak suku, agama disini. Gak pernah bentrok. Kalau ibukota itu Jakarta tempat berkumpulnya segala macam suku bangsa disana. Medan pun sama, potret kecilnya ibukota. Tidak ada bahasa Medan disini, semua berkomukasi dengan bahasa Indonesia bukan bahasa Melayu atau Bahasa Batak. Berada di lingkungan orang padang, minang, tetangga saya kebanyakan orang padang yang notabene Muhammadiah. Sementara kami yang melayu kebanyakan Al Washliah atau NU di Jawa nya. Mereka tidak ada wirid, kami wirid, mereka tidak qunut kami qunut subuhnya. Tapi kami akur hidup berdampingan. SD saya di sekolah Al Ulum yang beraliran Muhammadiah. Jelas sulit bagi saya menghafal bacaan sholat untuk doa iftitah, rukuk dan sujudnya beda dengan NU. Teman SD kebanyakan orang Padang. Lanjut ke SMP saya kebagian teman yang kebanyakan dari suku Batak Toba, Tapanuli Utara. Jadi kalau anda mendengar marga2 Simanjuntak, Sinaga itu lah mereka. Begitu SMA komunitas saya lain lagi. Kebanyakan Batak Mandailing, Tapanuli Selatan, lho beda lagi, ya beda. Mereka ini kebanyakan bermarga Lubis, Nasution, Harahap gitu. Kalau orang Taput kebanyakan Kristen, kalau Tapsel ini Muslim. Begitu masuk diploma, AIS, ketemu lah saudara dari Sabang sampai Merauke.
Disini lah saya sering geli-geli sendiri. Pak Sarpono, seorang asisten dosen saat itu, saya itung sampai 3x bertanya ke saya tentang pulang kampung. Kamu pulang ke Surabaya? Ngapain pak? Kamu ga mudik? Mudik Pak ke Medan. Wajahnya kebingungan, kamu bukan orang Surabaya? Saya Medan Pak? Setiap kali habis lebaran atau libur semester ketemu bapak itu dia menyangka saya itu orang Surabaya atau Bandung hehehe.
Begitu juga di Medan dan Sumatera sini. Orang dari Jawa itu dianggap orang Jawa. Mereka gak tau itu suku Sunda, Betawi, Jawa, Madura, Bandung, Jakarta, Semarang, Surabaya, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur semua sama ya Jawa titik. Jadi kalau kuliah ya ke Jawa, dapat istri Sunda ya Jawa, pindahan dari banten ya Jawa juga hehe. Salah? Ya gak tau. Perlu dijelasin, dikonfirmasi, buat pengumuman? Ya gak penting juga.
Dulu hal-hal sepele bisa membuat tegang urat leher saya, berantem, ngotot-ngototan ke orang tua saya, gitu lagi gitu lagi. Tapi sekarang saya paham, gak perlu juga dijelasin, saya cukup mendoakan saja semoga diberi petunjuk hehe. Seperti jalan pagi minggu tadi, saya temanin mama saya ke istana maimun, sepanjang jalan dikomentari, ini harusnya kan seperti ini, paritnya gak dikorek ya, mampet sampahnya, liat ini becek, kok warna itu catnya ya, sudah ada mushola umum di istana ini ya, tapi kok kedai-kedai ini yang di depan, ngoceh-ngoceh gak keruan, begitu lah tipikal orang Medan, saya diam saja sambil senyum-senyum sendiri sambil sesekali mengiyakan. Gak perlu juga saya bilang ga usah diurusin ma, gitu lagi gitu lagi halah...

Cina..
Mendengar nama ini hampir semua kita pasti benci. Seluruh jagat negeri pasti merasakan hal yang sama. Mengakar, bencinya turun temurun. Mungkin hal in lebih disebabkan karena mereka diberi kelebihan rejeki menguasai perekonomian jagat bumi ini. Istilah saya, kalau bisa di bulan mereka jualan dan ada yang beli pasti lah mereka dagang di bulan dan planet lainnya. Karena populasi mereka banyak. Saya pribadi sebenarnya melihat kondisi ini lebih disebabkan karena keserakahan pemerintah atau oknum pejabat pemerintah. Dan jika ditarik ke belakang ya dampak politik pecah belah, devide et impera VOC itu. Kita dikotak-kotakkan, kampung Arab, kampung Melayu, Jawa, Pecinan dsb. Sejatinya bangsa Cina dari dulu memang bangsa pedagang. Dan untuk memuluskan usahanya gak jarang mereka melakukan praktik sogok dan suap kepada penguasa setempat. Dan jika mereka berusaha dengan baik-baik, tetap saja diganggu penguasa dengan meminta pajak, upeti, setoran dan hingga kini praktik tersebut tetap berlaku. Ormas-ormas memalak mereka, kelurahan, kecamatan bahkan negara memalak mereka. Wajar mereka menganggap dirinya superior karena mereka memberi lebih. Tapi lihat lah perekonomian kita saat kerusuhan 1998, lumpuh karena mereka banyak yang eksodus.
Kita membedakan mereka. Di sekolah-sekolah negeri ada berapa jumlah mereka. Jarang kan?Mereka pun eksklusif. Membuat ruko-ruko, tinggal di kompleks-kompleks yang sulit dijangkau pendataan penduduk. Tapi semua dijaga siapa? Ya satpamnya, pengelolanya orang kita juga. Mereka eksklusif karena siapa? Mereka mau berbaur yang gak nerima siapa? Mbulet njlimet hehe
Saya sendiri pernah berdiri mengajar 3 kelas mayoritas mahasiswa sipit ini di kampus iBii sunter. Lebih kurang 120-140an anak selama 2 tahun. Eksklusif? Tidak. Berbeda? Gak. Sama sekali jauh seperti yang mungkin tertutupnya orang Cina yang anda bayangkan. Jadi kalau ada orang benci Ahok, tapi saya melihat Ahok sama seperti mahasiswa saya dulu yang cina-cina itu. Mereka dari seluruh Cina yang ada di negeri ini. Cina Medan, Cina Jakarta, Bandung, Suroboyo, Malang, Pontianak, Makassar dsb. Yang bisa Bahasa Cina, Mandarin, Kek atau Hokkian, ya segelintir saja. Mereka pun kursus lagi Bahasa Mandarin. Karena sejatinya mereka hanya terlahir Cina, putih dan sipit. Cina Jakarta ya lu gue, Cina Bandung ya kumaha kumaha, Cina Jawa ya medok-medok, hanya Cina Medan dan Pontianak yang fasih berbahasa Kek atau Hokkian bukan Mandarin ya, mereka ini yang sedikit lebih eksklusif, susah bergaul. Karena di Medan sini mereka ya tertutup, berbaur dengan orang pribumi hanya sebatas karyawannya dan orang yang dikenalnya saja. Maka ketika pelaku-pelaku bisnis yang disebut kelompok Naga 9 lah, penguasa kelompok bisnis tertentu yang biasa suap sogok disangkutkan ke pihak Ahok, ya marah lah mereka. Sama saja balik ke cerita awal semua orang Medan dibilang Batak. Padahal di Medan ada Melayu, Jawa, Batak, Padang, Aceh, Banjar dsb. Batak sendiri pun gak mau juga disamaratakan. Ada Batak Toba, Dairi, Mandailing, Karo, Angkola dsb. Jawa demikian, makasar demikian, ambon, Papua, kita berbeda-beda dan gak pernah bisa sama. Saya sendiri mengalir darah Aceh yang mungkin GAM sekali kata orang yaitu Sigli dari ayah dan Melayu dari ibu saya yang Tengku. Nah ini beda lagi bahasannya. Tengku dan Teuku itu beda. Gelar bangsawan Melayu itu Tengku, kebanyakan pesisir Sumatera Timur. Tapi Melayu Riau menyebutnya Raja, perempuan pun bergelar Raja. Sedangkan Teuku itu gelar bangsawan atau ulama Aceh. Sedangkan untuk perempuannya Cut.
Istri saya lebih ribet lagi Papinya Manado ibunya Sunda. Kami memadukan 4 suku bangsa. Dan dari pihak istri ada yang menikah dengan Batak yang otomatis keluarga saya ada yang Kristen. Bahkan Om istri saya ada yang missionaris, penyebar agama Kristen atau pendakwahnya lah dalam Islam yang berkewarganegaraan Amerika. Tinggal di Amerika. Anda kalau bicara Manado hanya 4 B, ya karena memang itu lah yang tersebar, melekat kuat di mindset dan yang didengar dari orang-orang, Bubur, Bunaken, Bulevard dan Bibir. Tapi anda kan gak paham Tinutuan, Istilah lain Bubur Manado itu, klapertart, danau Tondano, minahasa, dsb.
Itu lah kita, luasssss, besarrr, kayaaa, saya kagum Endonesiah ini rruuaarr byaassaahh. Jadi kalo ada yang bilang Batak, Cina, Jawa, Kristen, Islam yaah saya maklum lah. Mungkin dulu pelajaran IPS atau geografinya sering bolos atau kurang beruntung punya pengalaman gak sebanyak saya dan yang lainnya. Dah gitu aja. Kita banyak yang terjebak dalam Istilah-istilah yang kita sendiri gak paham asal usulnya, diperparah lagi dengan tidak mencaritahu dan hanya ikut-ikutan doang. Kasihan
Perlu dikonfirmasi, dijelasin, kasi pengumuman, yaah gak penting juga keules, doain aja semoga pengetahuannya nambah.
Trus lu sombong punya segudang informasi dan pengalaman? Gak ada yang perlu disombongkan. Lebih baik dibagi, dishare aja ceritanya buat nambah wawasan
Bahwa tidak semua orang Medan itu Batak, tidak semua dari Pulau Jawa itu Jawa, gak semua Padang itu pedagang, gak semua Cina itu jahat
Tidak semua bisa kita jeneralisir, kita sama ratakan hanya karena mindset kita yang salah, itu intinya
Be kalem man

Guru Corona

Corona mengajariku: Untuk Hidup Sehat , selalu mencuci tangan dengan sabun, bersih-bersih badan, mandi, kalau habis dari luar rumah, apala...