Zaman sekarang ini, penyakit semakin aneh-aneh. Yang lebih aneh lagi,
penyakit itu tidak melihat kondisi, mau laki-laki atau perempuan, apakah dia
orang dewasa atau anak-anak, kaya atau miskin, kalau itu penyakit mau datang, semua
bisa kena. Terkadang kita kaget mendengar anak SD terkena penyakit diabetes,
penyempitan pembuluh darah, dan sebagainya yang dulu mungkin ada juga sih tapi
langka, satu-satu, tidak sebanyak sekarang. Teringat saya akan cerita kakak,
dia katakan dulu ada karikatur di majalah Gadis saat itu digambarkan tahun
1980an waktu itu rumah sakit atau klinik umum itu penuh antrian orang berobat
tetapi klinik atau dokter penyakit spesialis sepi pasien. Kemudian gambar
berikutnya digambarkan tahun 2000an terjadi keadaan sebaliknya dimana klinik
atau praktik dokter umum tidak seramai klinik atau praktik dokter spesialis.
Kejadian di karikatur itu kini terbukti, penyakit aneh-aneh bermunculan seiring
makanan, pola makan, pola hidup, lingkungan manusia yang berubah sangat drastis.
Apakah yang menyebabkan perubahan gaya hidup dan lingkungan orang
Indonesia saat ini. Ternyata bahasa menyebabkan perubahan segalanya. Menurut
Gorys Keraf (1997 : 1), Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat
berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Menurut Felicia
(2001 : 1), dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering
digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya
kita kepada bahasa, terutama bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu
untuk mendalami dan mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh. Akibatnya,
sebagai pemakai bahasa, orang Indonesia tidak terampil menggunakan bahasa.
Suatu kelemahan yang tidak disadari. Komunikasi lisan atau nonstandar yang
sangat praktis menyebabkan kita tidak teliti berbahasa. Akibatnya, kita
mengalami kesulitan pada saat akan menggunakan bahasa tulis atau bahasa yang
lebih standar dan teratur. Pada saat dituntut untuk berbahasa bagi kepentingan
yang lebih terarah dengan maksud tertentu, kita cenderung kaku. Kita akan
berbahasa secara terbata-bata atau mencampurkan bahasa standar dengan bahasa
nonstandar atau bahkan, mencampurkan bahasa atau istilah asing ke dalam uraian
kita. Padahal, bahasa bersifat sangat luwes, sangat manipulatif. Kita selalu
dapat memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Lihat saja,
bagaimana pandainya orang-orang berpolitik melalui bahasa. Kita selalu dapat
memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Terlalu banyak makna
dari bahasa yang kita sampaikan. Saat demo 411 kemarin, seorang publik figur yang sedang mencalonkan diri menjadi calon bupati Bekasi dengan tanpa beban mengatakan "saya ingin mengatakan Presiden Anji**, tapi tidak boleh. Presiden Ba**, tapi tidak boleh". Bahasa telah dimanipulasi untuk kepentingan tertentu.
Disisi lain sifat sensitif masyakarat kita semakin tinggi. Apa saja
yang diomongin, disampaikan semua dipikirin, semua dibahas, semua dimasukin ke
hati. Masyarakat kita semakin perasa, perasa ya bukan empati. Di satu sisi,
cara bicara kita sekarang sering ceplas ceplos, cara menyampaikannya asal,
tanpa melihat kondisi, bahasa yang digunakan serampangan, disisi lain yang
mendengar seringkali emosional, sehingga kita tidak jelas lagi melihat batasan,
apakah bercanda, apakah serius, apakah penting, atau tidak. Kita jauh dari
bahasa ekspresi tubuh. Beda dengan orang luar negeri, terutama bangsa Barat.
Mereka sangat ekspresif, kekecewaan dengan mengangkat kedua tangan dan bahu,
menghormati orang dengan standing
applause, mimik sedih, kecewa, bahagia, tertawa lepas, dilakukan bebas,
lepas, tanpa keraguan, tanpa dibuat-buat. Kita jarang terjebak dengan melihat
bahasa tubuh dan ucapan yang disampaikan mereka. Semua Jelas. Beda dengan
disini, mimik muka sedih, ternyata tidak sepenuhnya sedih, raut muka datar
ternyata sedang bahagia. Hanya dengan mengatakan “Selamat ya !”
sahut-sahutannya bisa jadi panjang dan lama. “Selamat apa dulu nih, selamat
siang, pagi, malam”. Ketidakjelasan dalam berkomunikasi, dan keseringan
bercanda yang tanpa tempatnya. Bercanda mesum, mengarah sex, porno, sangat
disukai sebagian besar warga negeri ini. “Mau Pisang?”. Sepertinya tidak ada
yang salah dengan kalimat ini, bahasanya benar. Seseorang menawarkan buah
pisang ke orang lain. Tetapi pertanyaan ini, bisa membuat riuh satu ruangan,
satu kantor, karena dijadikan bahan ledek-ledekan, bercandaan. Ditimpali dengan
“Besar gak? Panjang gak? Gak lah, sudah tua”, dsb, dst. Dan itu dianggap hal
yang biasa saja, wajar, lelucon yang garing yang ada di sekitar kita. Begitu
lah kita. Joke-jokenya seperti itu. Kalau saya tidak mau menyebutnya murahan,
selera humor rendah, nanti ada pihak yang tersinggung. Kemudian kita dikatain,
dibilang sok intelek, sok terhormat, sok hebat dan sok sok yang lain.
Bagaimana menghubungkan ini semua? Bahasa, komunikasi dan cara berkomunikasi
kita yang buruk, serampangan membuat orang-orang di negeri ini, emosional,
gampang marah, mudah tersinggung dan sensitif. Banyak orang yang saya temui,
mudah dan tidak merasa bersalah menghina, mengejek orang lain, tetapi dia akan
sangat marah, marah besar jika dibilang, dikatai, atau dibalas dengan ejekan
pula. Mereka tidak terima. Kita jauh dari sikap berdebat, kita lebih mau
berantam untuk menyelesaikan masalah. Sepertinya dengan mengalahkan orang lain
merupakan kepuasan tersendiri di negeri ini. Kita berharap orang yang kita
olok-olok itu terpojok, terpukul, tersudutkan dan tidak membalas. Tetapi jika
kita dihina orang, maka dengan segala cara kita akan membalas dengan cara yang
lebih dahsyat lagi. Maka tidak lah heran jika karena tersinggung, diejek,
gara-gara uang 1000 perak, seseorang bisa membantai orang lain bahkan
menghilangkan nyawa.
Karena bahasa yang buruk, sikap menerima kita pun menjadi buruk. Dalam
Komunikasi itu ada 3 faktor yang mempengaruhi sebuah pesan bisa diterima dengan
baik yaitu. Sender (Pengirim atau
yang menyampaikan berita), Media
(apa, bagaimana dan cara berita itu disampaikan) dan Receiver (Penerima berita). Dalam keadaan normal, tidak dalam
keadaan emosi, sebuah pesan atau berita akan dapat diterima dengan baik. Seperti
contoh di atas, Mau pisang?, Sender/orang
yang menanyakan ke orang lain itu dalam keadaan normal dia bertanya ke temannya
atau orang lain apakah mereka mau buah pisang. Kalau teman atau orang lain yang
mendengarnya pun normal, maka jawabannya pun Mau atau Tidak, selesai. Tetapi
akan menjadi masalah jika yang bertanya seperti ngeledek, memanas-manasi
suasana, bahwa dia punya pisang 1 buah dan temannya tidak, sehingga temannya
iri bahwa mereka tidak dapat pisang. Dan akan menjadi lelucon jika temannya yang
menjawab, memelintir pertanyaan itu menjadi hal yang mesum. Pisang dianggap
sebagai benda lain, misalkan penis atau kemaluan pria. Sehingga pertanyaan
balik ditanyakan, besar? Kecil? dsb. Dan pesan yang tadinya normal-normal,
biasa-biasa saja bisa bermakna lain. Dan herannya seringkali kita bermasalah
dengan bahasa ini. Kita seringkali membuatnya sebagai lelucon. Setiap hari
harus tertawa. Lucu atau tidak yang penting tertawa. Sehingga banyak pihak yang
terjebak dengan suasana ini. Kita semakin jauh dari suasana yang formal, serius.
Kalau serius, formal, tidak menarik, mengantuk dan ntah apa istilah lainnya.
Kalau di pengajian ustadnya serius, maka jamaahnya bubar, sepi. Kalau dosennya
serius, tidak humoris, muridnya akan ngantuk. Kalau pemaparnya rame, seru,
bercanda sepanjang waktu, penggemarnya senang. Tidak tahu materinya bisa
diterima, tersampaikan, dimengerti atau tidak, yang penting tertawa setiap
saat. Itu lah kita.
Buruknya penggunaan bahasa. Sensitifnya sikap dalam menanggapi berbagai
hal. Memicu timbulnya penyakit, terutama Stres. Seorang teman datang ke
seseorang dan bertanya, “eh kita sudah lama tidak berjumpa ya, kerja dimana
sekarang?”. “Di Toko Furnitur”. “Berapa gajimu?’, “3 juta rupiah”, “hah, hari
gini gaji cuma 3 juta, sementara anakmu 2 orang dan rumahmu kecil! Tokomu maju,
penjualan besar. Mintalah kenaikan gaji pada bosmu”. Sesampainya di rumah,
mulailah ia berpikir, ia juga ya. Masak gajiku Cuma 3 juta, sementara teman ku
sudah punya mobil, rumah besar. Keesokan hari nya ia meminta kenaikan gaji pada
bosnya. Dan bosnya menolak. Seminggu kemudian ia meminta lagi dan yang ia
dapatkan adalah sebuah pemecatan. Lihatlah hanya dari obrolan singkat,
perkataan yang tidak penting. Kehidupan keluarga yang kecil bahagia, tanpa ada
gangguan, kebutuhan tercukupi, lalu berantakan hanya karena ucapan seorang
teman yang dipikirin dan dipikirin. Jika ucapan tersebut dianggap sebagai
masukan, tidak masalah, dan upaya pun sudah dilakukan tetapi ditolak oleh
atasannya. Kenapa harus memaksakan omongan teman yang memanas-manasi keadaan
kita yang sebenarnya adem ayem saja. Banyak kejadian seperti ini terjadi,
seorang gadis menghabiskan banyak uang hanya sibuk untuk mempercantik wajahnya.
Ketika dibilang berjerawat, dia pun sibuk ke dokter kuliat, mencari cara
menghilangkan jerawat, membeli ini itu, mengeluarkan biaya untuk mencoba treatment ini itu yang sebenarnya banyak
hal lain yang lebih penting yang dilakukan dari sekedar menghilangkan jerawat.
Bagaimana kalau bahasa-bahasa seperti itu dilakukan oleh orang yang ahli pada
bidangnya, berkompeten pada bidangnya. Ini lebih fatal lagi. Beberapa kali kami
mendengar ucapan dokter yang menjatuhkan semangat pasiennya. Bukannya memberi
semangat atas kesembuhan pasien, malah menakut-nakuti akan hal yang lebih buruk
yang akan diterima pasien jika pasien tersebut tidak mengikuti anjuran sang
dokter atau melanggar ketentuan yang ditentukan. Hal ini mungkin yang
menyebabkan mengapa sebagian orang kita berobat ke luar negeri disebabkan
mereka mendapatkan kekuatan, semangat dari dokter atau rumah sakit yang
didatanginya. Tidak seperti disini. Orang yang sudah sekarat, korban tabrak
lagi, dibawa ke rumah sakit terdekat, yang ditanyakan untuk pertama kali siapa
yang bertanggung jawab, harus menyiapkan deposit 5 juta, bagaimana pasien
sembuh jika bahasa-bahasa yang digunakan pihak medis membuatnya bertambah
stres. Belum lagi kisah orang-orang yang melahirkan, yang seharusnya diliputi
kebahagiaan, tetapi harus mengalami kesedihan karena ketidakmampuan membayar
biaya persalinan sehingga sang bayi harus ditahan di rumah sakit, klinik atau
rumah bersalin tersebut.
Kebanyakan mendengarkan hal-hal yang membuat sifat dan kepribadian kita
jatuh, tidak semangat, akan mendekatkan diri kita kepada penyakit. Jika kita
tes kesehatan dan hasilnya menunjukkan hasil positif diabetes. Harusnya kita
berteman, mencari info, membaca berita, mendengarkan kisah orang-orang yang
sehat dengan diabetes, atau sembuh dengan diabetes. Bukan mendengarkan
celotehan, cerita-cerita yang justru memperparah penyakit kita. Yang tadinya cuma
sakit biasa jadi sakit parah, yang tadinya stadium satu jadi stadium 4. Tapi
kita sering lalai, kita tidak mengerti. Didukung lagi dengan sifat kita yang
sensitif berlebihan itu tadi. Lihatlah para koruptor. Berapa banyak yang
memujanya, mengelu-elukannya, menganggapnya sebagai sohib, kerabat dekat saat
mereka jaya. Semua merasa saudaranya. Tetapi begitu ketahuan prilaku korupnya,
apalagi jika itu OTT (operasi tangkap tangan) dan diberitakan sepanjang hari di
seluruh media. Tidak butuh waktu lama, mereka stres, berat badan turun, yang
tadinya mengaku-ngaku saudara, kini menjauh, yang menyanjungnya berbalik
memakinya, yang tadinya biasa dilayani kini harus dilakukan sendiri, berbagai
penyakitnya menemani seiring dengan semua omongan, berita, dipikirin dipikirin
dipikirin hingga banyak pelaku korupsi itu meninggal tragis. Dunia tidak dapat,
akhirat pun jauh. Semua karena bahasa, semua karena omongan, semua karena
perasaaan. Perasaan yang larut akan omongan orang lain. Kehidupan yang
ditentukan oleh tuntutan orang lain atau keadaan yang sebenarnya tidak kita
butuhkan. Pikiran yang dipaksa keras akan menyebabkan naiknya asam lambung,
naiknya asam lambung akan menyebabkan banyak sakit lainnya. Stres, stroke,
jantung merupakan penyakit-penyakit yang sebenarnya bisa dicegah jika kita,
manusia ini, menyeimbangkan berbagai hal. Kerja dan istirahat, aktivitas dan
olah raga, dunia (kerja) dan akhirat (ibadah), karir dan keluarga, ambisi dan
cinta, makan dan olah raga, kerja dan refreshing,
me time dan bersosialisasi, berpikir
dan merasa, dan lain-lain.
Jika kita menyeimbangkan antara berpikir dan merasa, berbahasa yang
benar, tidak gampang menghina dan menyalahkan orang dan keadaan, penyakit pun
tidak mudah mendatangi kita. Mengapa orang jaman dulu jarang sakit, karena
jumlah penduduk tidak sebanyak sekarang, tutur katanya santun, menghargai
orang, bercandanya tidak menyakiti, menghormati yang tua, mengasihi yang muda,
disiplin bekerja, rajin bersosialisasi. Bercermin dari masyarakat seperti itu
akan menjadikan kita manusia yang berbudaya yang kuat karena kita berbahasa
yang baik, seimbang antara berpikir dan merasa, dan hidup sehat jasmani dan
rohani dalam kehidupan ini.