Thursday, November 24, 2016

Bahasa, Perasaan dan Penyakit


Zaman sekarang ini, penyakit semakin aneh-aneh. Yang lebih aneh lagi, penyakit itu tidak melihat kondisi, mau laki-laki atau perempuan, apakah dia orang dewasa atau anak-anak, kaya atau miskin, kalau itu penyakit mau datang, semua bisa kena. Terkadang kita kaget mendengar anak SD terkena penyakit diabetes, penyempitan pembuluh darah, dan sebagainya yang dulu mungkin ada juga sih tapi langka, satu-satu, tidak sebanyak sekarang. Teringat saya akan cerita kakak, dia katakan dulu ada karikatur di majalah Gadis saat itu digambarkan tahun 1980an waktu itu rumah sakit atau klinik umum itu penuh antrian orang berobat tetapi klinik atau dokter penyakit spesialis sepi pasien. Kemudian gambar berikutnya digambarkan tahun 2000an terjadi keadaan sebaliknya dimana klinik atau praktik dokter umum tidak seramai klinik atau praktik dokter spesialis. Kejadian di karikatur itu kini terbukti, penyakit aneh-aneh bermunculan seiring makanan, pola makan, pola hidup, lingkungan manusia yang berubah sangat drastis.

Apakah yang menyebabkan perubahan gaya hidup dan lingkungan orang Indonesia saat ini. Ternyata bahasa menyebabkan perubahan segalanya. Menurut Gorys Keraf (1997 : 1), Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Menurut Felicia (2001 : 1), dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada bahasa, terutama bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh. Akibatnya, sebagai pemakai bahasa, orang Indonesia tidak terampil menggunakan bahasa. Suatu kelemahan yang tidak disadari. Komunikasi lisan atau nonstandar yang sangat praktis menyebabkan kita tidak teliti berbahasa. Akibatnya, kita mengalami kesulitan pada saat akan menggunakan bahasa tulis atau bahasa yang lebih standar dan teratur. Pada saat dituntut untuk berbahasa bagi kepentingan yang lebih terarah dengan maksud tertentu, kita cenderung kaku. Kita akan berbahasa secara terbata-bata atau mencampurkan bahasa standar dengan bahasa nonstandar atau bahkan, mencampurkan bahasa atau istilah asing ke dalam uraian kita. Padahal, bahasa bersifat sangat luwes, sangat manipulatif. Kita selalu dapat memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Lihat saja, bagaimana pandainya orang-orang berpolitik melalui bahasa. Kita selalu dapat memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Terlalu banyak makna dari bahasa yang kita sampaikan. Saat demo 411 kemarin, seorang publik figur yang sedang mencalonkan diri menjadi calon bupati Bekasi dengan tanpa beban mengatakan "saya ingin mengatakan Presiden Anji**, tapi tidak boleh. Presiden Ba**, tapi tidak boleh". Bahasa telah dimanipulasi untuk kepentingan tertentu.

Disisi lain sifat sensitif masyakarat kita semakin tinggi. Apa saja yang diomongin, disampaikan semua dipikirin, semua dibahas, semua dimasukin ke hati. Masyarakat kita semakin perasa, perasa ya bukan empati. Di satu sisi, cara bicara kita sekarang sering ceplas ceplos, cara menyampaikannya asal, tanpa melihat kondisi, bahasa yang digunakan serampangan, disisi lain yang mendengar seringkali emosional, sehingga kita tidak jelas lagi melihat batasan, apakah bercanda, apakah serius, apakah penting, atau tidak. Kita jauh dari bahasa ekspresi tubuh. Beda dengan orang luar negeri, terutama bangsa Barat. Mereka sangat ekspresif, kekecewaan dengan mengangkat kedua tangan dan bahu, menghormati orang dengan standing applause, mimik sedih, kecewa, bahagia, tertawa lepas, dilakukan bebas, lepas, tanpa keraguan, tanpa dibuat-buat. Kita jarang terjebak dengan melihat bahasa tubuh dan ucapan yang disampaikan mereka. Semua Jelas. Beda dengan disini, mimik muka sedih, ternyata tidak sepenuhnya sedih, raut muka datar ternyata sedang bahagia. Hanya dengan mengatakan “Selamat ya !” sahut-sahutannya bisa jadi panjang dan lama. “Selamat apa dulu nih, selamat siang, pagi, malam”. Ketidakjelasan dalam berkomunikasi, dan keseringan bercanda yang tanpa tempatnya. Bercanda mesum, mengarah sex, porno, sangat disukai sebagian besar warga negeri ini. “Mau Pisang?”. Sepertinya tidak ada yang salah dengan kalimat ini, bahasanya benar. Seseorang menawarkan buah pisang ke orang lain. Tetapi pertanyaan ini, bisa membuat riuh satu ruangan, satu kantor, karena dijadikan bahan ledek-ledekan, bercandaan. Ditimpali dengan “Besar gak? Panjang gak? Gak lah, sudah tua”, dsb, dst. Dan itu dianggap hal yang biasa saja, wajar, lelucon yang garing yang ada di sekitar kita. Begitu lah kita. Joke-jokenya seperti itu. Kalau saya tidak mau menyebutnya murahan, selera humor rendah, nanti ada pihak yang tersinggung. Kemudian kita dikatain, dibilang sok intelek, sok terhormat, sok hebat dan sok sok yang lain.

Bagaimana menghubungkan ini semua? Bahasa, komunikasi dan cara berkomunikasi kita yang buruk, serampangan membuat orang-orang di negeri ini, emosional, gampang marah, mudah tersinggung dan sensitif. Banyak orang yang saya temui, mudah dan tidak merasa bersalah menghina, mengejek orang lain, tetapi dia akan sangat marah, marah besar jika dibilang, dikatai, atau dibalas dengan ejekan pula. Mereka tidak terima. Kita jauh dari sikap berdebat, kita lebih mau berantam untuk menyelesaikan masalah. Sepertinya dengan mengalahkan orang lain merupakan kepuasan tersendiri di negeri ini. Kita berharap orang yang kita olok-olok itu terpojok, terpukul, tersudutkan dan tidak membalas. Tetapi jika kita dihina orang, maka dengan segala cara kita akan membalas dengan cara yang lebih dahsyat lagi. Maka tidak lah heran jika karena tersinggung, diejek, gara-gara uang 1000 perak, seseorang bisa membantai orang lain bahkan menghilangkan nyawa.

Karena bahasa yang buruk, sikap menerima kita pun menjadi buruk. Dalam Komunikasi itu ada 3 faktor yang mempengaruhi sebuah pesan bisa diterima dengan baik yaitu. Sender (Pengirim atau yang menyampaikan berita), Media (apa, bagaimana dan cara berita itu disampaikan) dan Receiver (Penerima berita). Dalam keadaan normal, tidak dalam keadaan emosi, sebuah pesan atau berita akan dapat diterima dengan baik. Seperti contoh di atas, Mau pisang?, Sender/orang yang menanyakan ke orang lain itu dalam keadaan normal dia bertanya ke temannya atau orang lain apakah mereka mau buah pisang. Kalau teman atau orang lain yang mendengarnya pun normal, maka jawabannya pun Mau atau Tidak, selesai. Tetapi akan menjadi masalah jika yang bertanya seperti ngeledek, memanas-manasi suasana, bahwa dia punya pisang 1 buah dan temannya tidak, sehingga temannya iri bahwa mereka tidak dapat pisang. Dan akan menjadi lelucon jika temannya yang menjawab, memelintir pertanyaan itu menjadi hal yang mesum. Pisang dianggap sebagai benda lain, misalkan penis atau kemaluan pria. Sehingga pertanyaan balik ditanyakan, besar? Kecil? dsb. Dan pesan yang tadinya normal-normal, biasa-biasa saja bisa bermakna lain. Dan herannya seringkali kita bermasalah dengan bahasa ini. Kita seringkali membuatnya sebagai lelucon. Setiap hari harus tertawa. Lucu atau tidak yang penting tertawa. Sehingga banyak pihak yang terjebak dengan suasana ini. Kita semakin jauh dari suasana yang formal, serius. Kalau serius, formal, tidak menarik, mengantuk dan ntah apa istilah lainnya. Kalau di pengajian ustadnya serius, maka jamaahnya bubar, sepi. Kalau dosennya serius, tidak humoris, muridnya akan ngantuk. Kalau pemaparnya rame, seru, bercanda sepanjang waktu, penggemarnya senang. Tidak tahu materinya bisa diterima, tersampaikan, dimengerti atau tidak, yang penting tertawa setiap saat. Itu lah kita.

Buruknya penggunaan bahasa. Sensitifnya sikap dalam menanggapi berbagai hal. Memicu timbulnya penyakit, terutama Stres. Seorang teman datang ke seseorang dan bertanya, “eh kita sudah lama tidak berjumpa ya, kerja dimana sekarang?”. “Di Toko Furnitur”. “Berapa gajimu?’, “3 juta rupiah”, “hah, hari gini gaji cuma 3 juta, sementara anakmu 2 orang dan rumahmu kecil! Tokomu maju, penjualan besar. Mintalah kenaikan gaji pada bosmu”. Sesampainya di rumah, mulailah ia berpikir, ia juga ya. Masak gajiku Cuma 3 juta, sementara teman ku sudah punya mobil, rumah besar. Keesokan hari nya ia meminta kenaikan gaji pada bosnya. Dan bosnya menolak. Seminggu kemudian ia meminta lagi dan yang ia dapatkan adalah sebuah pemecatan. Lihatlah hanya dari obrolan singkat, perkataan yang tidak penting. Kehidupan keluarga yang kecil bahagia, tanpa ada gangguan, kebutuhan tercukupi, lalu berantakan hanya karena ucapan seorang teman yang dipikirin dan dipikirin. Jika ucapan tersebut dianggap sebagai masukan, tidak masalah, dan upaya pun sudah dilakukan tetapi ditolak oleh atasannya. Kenapa harus memaksakan omongan teman yang memanas-manasi keadaan kita yang sebenarnya adem ayem saja. Banyak kejadian seperti ini terjadi, seorang gadis menghabiskan banyak uang hanya sibuk untuk mempercantik wajahnya. Ketika dibilang berjerawat, dia pun sibuk ke dokter kuliat, mencari cara menghilangkan jerawat, membeli ini itu, mengeluarkan biaya untuk mencoba treatment ini itu yang sebenarnya banyak hal lain yang lebih penting yang dilakukan dari sekedar menghilangkan jerawat. Bagaimana kalau bahasa-bahasa seperti itu dilakukan oleh orang yang ahli pada bidangnya, berkompeten pada bidangnya. Ini lebih fatal lagi. Beberapa kali kami mendengar ucapan dokter yang menjatuhkan semangat pasiennya. Bukannya memberi semangat atas kesembuhan pasien, malah menakut-nakuti akan hal yang lebih buruk yang akan diterima pasien jika pasien tersebut tidak mengikuti anjuran sang dokter atau melanggar ketentuan yang ditentukan. Hal ini mungkin yang menyebabkan mengapa sebagian orang kita berobat ke luar negeri disebabkan mereka mendapatkan kekuatan, semangat dari dokter atau rumah sakit yang didatanginya. Tidak seperti disini. Orang yang sudah sekarat, korban tabrak lagi, dibawa ke rumah sakit terdekat, yang ditanyakan untuk pertama kali siapa yang bertanggung jawab, harus menyiapkan deposit 5 juta, bagaimana pasien sembuh jika bahasa-bahasa yang digunakan pihak medis membuatnya bertambah stres. Belum lagi kisah orang-orang yang melahirkan, yang seharusnya diliputi kebahagiaan, tetapi harus mengalami kesedihan karena ketidakmampuan membayar biaya persalinan sehingga sang bayi harus ditahan di rumah sakit, klinik atau rumah bersalin tersebut.

Kebanyakan mendengarkan hal-hal yang membuat sifat dan kepribadian kita jatuh, tidak semangat, akan mendekatkan diri kita kepada penyakit. Jika kita tes kesehatan dan hasilnya menunjukkan hasil positif diabetes. Harusnya kita berteman, mencari info, membaca berita, mendengarkan kisah orang-orang yang sehat dengan diabetes, atau sembuh dengan diabetes. Bukan mendengarkan celotehan, cerita-cerita yang justru memperparah penyakit kita. Yang tadinya cuma sakit biasa jadi sakit parah, yang tadinya stadium satu jadi stadium 4. Tapi kita sering lalai, kita tidak mengerti. Didukung lagi dengan sifat kita yang sensitif berlebihan itu tadi. Lihatlah para koruptor. Berapa banyak yang memujanya, mengelu-elukannya, menganggapnya sebagai sohib, kerabat dekat saat mereka jaya. Semua merasa saudaranya. Tetapi begitu ketahuan prilaku korupnya, apalagi jika itu OTT (operasi tangkap tangan) dan diberitakan sepanjang hari di seluruh media. Tidak butuh waktu lama, mereka stres, berat badan turun, yang tadinya mengaku-ngaku saudara, kini menjauh, yang menyanjungnya berbalik memakinya, yang tadinya biasa dilayani kini harus dilakukan sendiri, berbagai penyakitnya menemani seiring dengan semua omongan, berita, dipikirin dipikirin dipikirin hingga banyak pelaku korupsi itu meninggal tragis. Dunia tidak dapat, akhirat pun jauh. Semua karena bahasa, semua karena omongan, semua karena perasaaan. Perasaan yang larut akan omongan orang lain. Kehidupan yang ditentukan oleh tuntutan orang lain atau keadaan yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Pikiran yang dipaksa keras akan menyebabkan naiknya asam lambung, naiknya asam lambung akan menyebabkan banyak sakit lainnya. Stres, stroke, jantung merupakan penyakit-penyakit yang sebenarnya bisa dicegah jika kita, manusia ini, menyeimbangkan berbagai hal. Kerja dan istirahat, aktivitas dan olah raga, dunia (kerja) dan akhirat (ibadah), karir dan keluarga, ambisi dan cinta, makan dan olah raga, kerja dan refreshing, me time dan bersosialisasi, berpikir dan merasa, dan lain-lain.

Jika kita menyeimbangkan antara berpikir dan merasa, berbahasa yang benar, tidak gampang menghina dan menyalahkan orang dan keadaan, penyakit pun tidak mudah mendatangi kita. Mengapa orang jaman dulu jarang sakit, karena jumlah penduduk tidak sebanyak sekarang, tutur katanya santun, menghargai orang, bercandanya tidak menyakiti, menghormati yang tua, mengasihi yang muda, disiplin bekerja, rajin bersosialisasi. Bercermin dari masyarakat seperti itu akan menjadikan kita manusia yang berbudaya yang kuat karena kita berbahasa yang baik, seimbang antara berpikir dan merasa, dan hidup sehat jasmani dan rohani dalam kehidupan ini.

Guru Corona

Corona mengajariku: Untuk Hidup Sehat , selalu mencuci tangan dengan sabun, bersih-bersih badan, mandi, kalau habis dari luar rumah, apala...